kenapa Maluku identik dengan timnas Belanda? Jika saya menguraikan panjang lebar maka kita akan memulainya dari titik sejarah penjajahan Belanda yang beratus-ratus tahun di Indonesia. Istilah "Belanda Hitam" untuk orang Maluku yang dipecayai sebagai kasta kelas dua dalam tentara KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) adalah sebuah ikatan sejarah masa lalu. Sejarah kelam yang membuat banyak tentara KNIL Maluku yang menetap di Belanda dan menghasilkan keturunan warga Maluku yang cukup banyak di negeri Belanda. Sejarah juga yang membuat perdebatan pendirian Republik Maluku Selatan (RMS) yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Harus diakui, sisa-sisa RMS masih ada dan eksis di negeri Belanda. Tapi disini, saya tidak mengaitkan hal itu, karena sepakbola adalah sepakbola, saya tidak mau mencampurinya dengan urusan politik dan sebagainya.
Keterlibatan orang Maluku sebenarnya sudah ada sejak Piala Dunia pertama tahun 1938. Saat itu kesebelasan Hindia-Belanda membawa nama Kerajaan Belanda, bukan Indonesia. Hal mana perlu saya luruskan, karena ada perdebatan mengenai keabsahan Indonesia pernah mengikuti Piala Dunia. Memang, sebagian besar pemainnya adalah warga Indonesia yang bukan pemain FIFA, tetapi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. FIFA tetap mengakui Hindia Belanda disertakan atas rekomendasi NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) bukan PSSI yang waktu itu kepanjangannya Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia.
Dari daftar pemain Hindia-Belanda di Piala Dunia 1938, terseliplah beberapa pemain Maluku seperti Hans Taihuttu, Frederik Hukom dan Tjaak Pattiwael. Ketiga pemain Maluku ini berbaur bersama pemain dari Jawa (Nawir dan Suvarte Soedermadji), Tionghoa (Tan Djien, Bing Mo Heng, Tan Se Han dan Tan Mo Heng) serta pemain asli Belanda seperti Beuzekom dan Henk Sommers. Jadi kalau anda melihat timnas Belanda multiras seperti sekarang ini, sebenarnya itu sudah terbentuk sejak awal.
Keterlibatan orang Maluku di timnas Belanda pada era modern tidak lepas dari sosok Simon Melkianus Tahamata. Selama bermain, pemain kelahiran Vught Belanda pada 1956 silam ini berposisi di sayap kiri. Simon merupakan putra asli Maluku. Dia sudah memperkuat timnas Belanda sebanyak 22 kali dan mencetak dua butir gol. Setelah gantung sepatu akhir 90-an, Simon sibuk menjadi pelatih di Ajax junior. Simon mengawali karier bersama Ajax pada musim 1976/77. Karena cedera, dia sempat absen selama dua musim dan kembali membela Klub Anak-anak Dewa itu di musim 1979/80, dan hingga akhir musim dia mampu mengemas 17 gol. Namun, setelah malang melintang di Divisi Utama Belanda, Simon kemudian hijrah ke kompetisi Belgia (Standar de Liege) musim 1982/83. 1984 dia kembali ke Belanda dan merumput bersama Feyenoord Roterdam.
Spoiler for Simon Melkianus Tahamata:
Entah mengapa, Simon kembali ke kompetisi utama di negara tetangga Belanda itu dan membela panji-panji Beerschot dan Germinan Ekeren di Standart de Liege. Tapi seiring perjalanan waktu, merasa tak puas di kompetisi Belgia, Simon mencoba peruntungan di karpet Timur Tengah dan memilih berbaju klub Arab Saudi, Al-Ahli sebelum kembali ke negeri kelahirannya —Belanda— pada akhir 1987. Pulang dari Tanah Arab, Simon membela Feyenoord Roterdam dan mengakhiri karier di markas De Kuip pada 1996 silam. Semasa jayanya Simon ikut dipanggil membela timnas Belanda selama hampir delapan tahun, yakni dari 1979 hingga 1986. Ia pun masuk armada Belanda untuk penyisihan Piala Dunia 1982 Spanyol dan 1986 Meksiko.
Bryan Roy, eks Timnas Belanda di Piala Dunia 1994 dan 1998—-yang mengaku punya darah Maluku–menuturkan bahwa saat masih muda, dirinya pernah mendengar kalau Simon Tahamata, yang juga legenda Ajax, pernah ditolak pemerintah Indonesia di jaman Menteri Kehakiman, Ali Sadikin. Padahal, kata Roy, setelah mencermati sepak terjang dan prestasi tim nasional selama hampir 10 tahun terakhir, ide mendatangkan Simon Tahamata bukan sesuatu yang tabu. Karena Simon adalah satu-satunya pemain berdarah Maluku, yang peduli dengan pemerataan sepak bola di negara ketiga, seperti Indonesia. Sungguh amat disayangkan!
Tidak Pernah Habis!
Jadi, kalau Indonesia masih bermimpi akan bermain di Piala Dunia, tidak dengan orang Maluku. Keikutsertaan timnas Belanda di setiap perhelatan internasional, selalu ada pemain keturunan Maluku yang disertakan. Ada sebuah kebanggaan bagi beberapa kerabat yang tinggal di Maluku, jika pemain yang masih mempunyai tali persaudaraan ikut bermain di even tertinggi seperti piala dunia. Beberapa marga Silooy yang banyak tinggal di daerah Latuhalat dan Amahusu tetap mempunyai cerita turun temurun untuk anak cucu mereka karena keikutsertaan Sony Silooy di piala dunia 1994.
Tapi tidak ada yang paling membanggakan selain marga Sapulette, dari desa Ulath, Pulau Saparua Maluku Tengah. Ya, Sapulette adalah marga asli ibu dari kapten timnas Belanda di Piala Dunia 2010 sekarang, Giovanni van Bronckhoorst. Dari semua pemain keturunan Maluku, tidak ada yang bisa mencapai prestasi tertinggi dari Gio (nama panggilan). Ban Kapten tentunya sebuah kebanggaan dan tentunya bukan asal-asalan kepercayaan itu diberikan pelatih Bart van Marwijk. Pengalaman bermain bersama Feyenoord, Celtic, Arsenal dan ikut memberi andil merebut trofi Liga Champions bersama Barcelona adalah pencapaian luar biasa.
Piala Dunia 2010 di Afsel juga mempunyai catatan tersendiri di hati orang Maluku. Selain kapten timnas Belanda adalah pemain keturunan Maluku pertama, pada pertandingan Belanda melawan Denmark, empat pemain pemain keturunan Maluku bermain bersama yaitu Giovanni van Bronckhoorst, Johny Heitingga, Demy de Zeeuw dan Nigel de Joong. Belum lagi masih ada striker Robin van Persie, meskipun ia keturunan Jawa (neneknya).
Spoiler for Gio van Bronckhoorst:
Spoiler for Johny Heitinga:
Spoiler for Demy de Zeeuw:
Spoiler for Nigel de Jong:
Spoiler for van Persie:
Saya berani mengatakan pemain keturunan Maluku tidak pernah habis. Mau bukti? Ini beberapa nama pemain keturunan Maluku yang siap-siap menggantikan era Giovanni dkk beberapa tahun mendatang.
Michael Timisela, Sven Taberima, Christian Supusepa, Robert Timisela (Ajax Amsterdam), Mathija Marunaya, Gaston Salasiwa (AZ Alkmaar), Ignacio Tuhuteru, (FC Groningen), Marciano Kastirejo, Max Lohy, Stefano Lilipaly (FC Utrecht), Domingus Lim-Duan, Nelljoe Latumahina, Juan Hatumena, Petu Toisuta (FC Zwolle), Djilmar Lawansuka (Feyenoord Rotterdam), Raphael Tuankotta (21, Volendam Yunior), Justin Tahaparry (21, FC Eindhoven), Estefan Pattinasarani (17 tahun, AZ Alkmaar), Tobias Waisapy (18, Feyenoord Yunior).
Spoiler for Michael Timisela:
Spoiler for Sven Taberima:
Spoiler for Christian Supusepa:
Spoiler for Robert Timisela:
Spoiler for Gaston Salasiwa:
Spoiler for Ignacio Tuhuteru:
Spoiler for Stefano Lilipaly:
Spoiler for Dommingus Lim-Duan:
Spoiler for Petu Toisuta:
Spoiler for Djilmar Lawansuka:
Spoiler for Estefan Pattinasarani:
Spoiler for Justin Tahaparry:
Jadi, kalau orang Maluku identik dengan timnas Belanda, bukan sebuah keterpaksaan, bukan sekedar ngefans, tetapi sejarah dan hubungan persaudaraan yang masih terjalin sampai sekarang.
Ya sudah, semoga ini catatan untuk PSSI, kenapa takut untuk naturalisasi pemain-pemain keturunan? Lihatlah Timnas Percancis dengan pemain multiras dan etnik (Aljazair, Maroko, Senegal, Maladewa). Ataukah Timnas Jerman di Piala Dunia kali ini , yang bukan hanya berhasil meruntuhkan tembok pemisah barat dan timur, tetapi meruntuhkan juga tembok rasisme. Mereka berhasil menyatukan Cacau (Brazil), Jerome Boateng (Ghana), Samy Khedira (Turki), Lucas Podolski (Polandia) dan Mezut Oezil berbaur bersama darah-darah muda Der Panser.
sumber:kompasiana
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar